0
Forgiven - Morra Quatro (hal. 94-95)

*

Aku melihat ke arah Will yang sedang meraba-raba mencari tali di lantai untuk mengikat kayu bakar yang telah ia susun tadi. Entah kenapa, dari tadi ia agak aneh. Ia seperti agak susah melihat, sampai harus meraba-raba. Aku jadi khawatir, jangan-jangan terjadi sesuatu padanya.

"Will..." Aku memanggil nama satu-satunya kakak lelakiku, Will. Dari kecil, aku sudah terbiasa memanggil kakak langsung dengan nama, walau memang itu tak sopan. Kemudian, aku melihat lagi ke arah ibu, ibu kini sedang tertidur dengan wajah pucat. Ia sakit.

"Karla," dia berkata pelan. Will melangkah menuju ke arahku dengan pelan, lalu ia memegang kedua bahuku, seperti mengetahui apa yang aku khawatirkan, ia menghiburku, "Kamu yang tenang, oke?" Aku tahu Will sebenarnya sangat sedih serta kebingungan harus berbuat apa lagi. Aku dan ibu memang hanya bisa bergantung kepadanya, sejak setahun yang lalu, itu tahun Ibu mulai sakit keras, awalnya hanya penyakit ringan dan biasa, tapi lama-lama jadi sakit keras. Ayahku telah meninggal dua tahun yang lalu, jadi bisa dibilang Will adalah pengganti ayah.

"Tapi...." Tuhan, aku hanya mampu berharap semoga Will tak apa-apa. Mataku melirik ke arah ibu dengan tatapan sendu. Selain itu aku juga khawatir rentenir itu akan datang menagih hutang, sedang kami tidak punya apa-apa lagi, dan aku takut rentenir itu akan mengusir kami dari rumah.

"Sejak pagi ini, waktu bangun, aku nggak bisa melihat dengan jelas." Will menghela napas dengan berat.

Aku sedikit terkejut.
"Kamu... Becanda kan...?" Aku sejujurnya tahu, Will tadi pasti berkata jujur, pertanyaanku ini, sebenarnya hanya untuk menghibur diriku sendiri. Ah, naifnya aku.. Dari gerakannya tadi, pasti memang terjadi sesuatu dengan penglihatannya.

Will menunduk, menatap ibu yang tertidur. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, "Nggak."

Dan ya, bagaimanapun, aku harus menerima hal itu. Dan aku juga tak bisa terus merepotkan Will. Will sehabis kerja, juga masih harus mencari kayu bakar untuk dijual, dan malamnya ia harus membantu merawat ibu yang sakit-sakitan juga. Will pasti sangat lelah dan menderita. Seperrinya, aku juga harus mulai membantu mencari nafkah. Jika, aku ikut membantu, maka biaya untuk pengobatan ibu pun bisa semakin cepat terkumpul, serta bisa melunasi hutang yang terus menumpuk.

Aku melihat Will yang bangkit, mengangkat kayu-kayu bakar yang sudah ia ikat tadi. Aku lalu segera bangkit dan membantunya mengangkat kayu-kayu bakar.

"Jangan," ujar Will. Ia mengambil kayu bakar yang telah kuangkat. "Aku bisa sendiri, kok."

Aku hanya mampu menatap Will dengan tatapan sedih, dari dulu, Will selalu sok kelihatan kuat. Padahal, dia manusia juga 'kan, terkadang bisa lemah juga.

Perlahan, air mataku kembali menderas. Sebagai gantinya, malah aku yang menangis untuk Will. Aku ini memang gadis yang cengeng. Jika, Will mau membagikan deritanya sedikit saja untukku, maka aku akan dengan rela menampungnya. Walau, Will kelihatannya dapat menahan semua derita ini, tapi aku dapat melihat dari tatapannya, ada sedikit kesedihan disana.

Will meletakkan kembali kayu bakarnya. Ia menghela napas menatapku. Jari-jari tangannya kemudian mengusap air mataku yang terus turun.

Tok tok tok

Kami serentak menoleh ke arah pintu, mendengar ada yang mengetuk pintu.

"Ada yang datang," ujar Will.

Ia mengacak-acak rambutku. "Jangan nangis."

Aku segera mengusap air mataku dengan tanganku. Dalam hati, aku berharap semoga bukan rentenir itu yang datang. Karena uang yang kami punya sekarang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok kami.

Aku juga berniat, untuk mulai mencari kerja mulai besok. Apa saja mungkin, yang penting bisa menghasilkan uang. Kini, aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, kiranya Dia menyembuhkan sakit ibuku yang tak kunjung sembuh.

*

Posting Komentar

 
Top