sering bercanda dengan menggunakan
kata-kata “autis”. Akan tetapi, apakah
kita sudah mengetahui secara gamblang
tentang apa itu “autis” ?? Dan mengapa
kita “tega” menggunakan kata-kata
tersebut untuk “mencemooh” teman
atau saudara kita walaupun dalam konteks
bercanda. Padahal autis bukanlah sesuatu
yg melanggar norma sehingga harus
disingkirkan dan dijelek-jelekkan. Coba kita
bayangkan kita memiliki saudara seorang
penderita autis, dan ada orang yg
bercanda menggunakan kata-kata autis
untuk meledek temannya. Bagaimana
perasaan kita?
Agar kita lebih bisa menghargai penderita
autis, maka ada baiknya kita mengenal apa
itu “autis”. Istilah autisme
diperkenalkan pertama kali oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari Harvard
(Kanner, Austistic Disturbance of Affective
Contact) pada tahun 1943 berdasarkan
pengamatan terhadap 11 penderita yang
menunjukkan gejala kesulitan
berhubungan dengan orang lain,
mengisolasi diri, berperilaku yang tidak
biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Kata autisme berasal dari kata ”Autos”
yang berarti diri sendiri dan ”Isme”
yang berarti suatu aliran. Berarti suatu
paham yang hanya tertarik pada dunianya
sendiri. Pengertian Autis (autism) menurut
kamus lengkap psikologi (chaplin) adalah
cara berpikir yang dikendalikan oleh
kebutuhan personal atau oleh diri sendiri.
Menanggapi dunia berdasarkan penglihatan
dan harapan sendiri, menolak realitas.
Keasyikan ekstrem dengan pikiran dan
fantasi sendiri. Autisme sendiri sering
terjadi dalam masa anak-anak. Dalam buku
saku diagnosis gangguan jiwa PPDGJ III,
autis digolongkan dalam golongan
gangguan perkembangan, dan banyak
terjadi di masa kanak-kanak. Singkat kata,
Autisme adalah gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi,
interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Autisme juga merupakan gangguan
perkembangan organik yang
mempengaruhi kemampuan anak-anak
dalam berinteraksi dan menjalani
kehidupannya.
Wing & Gould mengklasifikasikan anak
autisme berdasarkan interaksi sosialnya ke
dalam 3 kelompok, yaitu:
Group Aloof
Anak autis kelompok ini sangat menutup
diri untuk berinteraksi dengan orang lain
dan sangat sulit untuk meniru suatu
gerakan yang bermakna. Anak autis tipe
aloof ini cenderung berperilaku agresif,
destruktif, tidak bisa diam, menjerit dan
lari-lari.
Grup pasif
Anak autis kelompok ini tidak bereaksi
secara spontan, tapi tidak menolak usaha
interaksi dari pihak lain, bahkan kadang-
kadang menunjukkan rasa senang.
Grup aktif tapi aneh
Anak autis kelompok ini dapat mendekati
orang lain, mencoba berkata atau bertanya
tapi bukan untuk tujuan interaksi sosial
secara timbal balik atau kesenangan.
Kemampuannya mendekati orang lain
kadang berbentuk fisik, sangat melekat
dengan orang lain walaupun orang
tersebut tidak menyukainya
So, sebenernya apa sih yang menyebabkan
autis? Gangguan Autistik bukan hanya
disebabkan oleh faktor psikologis,
melainkan juga biologis. Menurut dr
Chatijah Satrio Wibowo SpKJ dari Bagian
Ilmu Penyakit Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, penyandang autis
memiliki kecerdasan otak yang
menampilkan dunia mereka dan mengatur
kesehatan fisiknya. Namun, mereka
memiliki permasalahan berat dengan
kemampuan untuk peduli, mempelajari dan
meneliti tindakan, mengatur diri, serta
persepsi dan reaksi terhadap apa yang
terjadi atau apa yang dirasakan orang lain.
Hal itu disebabkan oleh abnormalitas di
bagian tertentu pada otak yang
bertanggung jawab pada pengaturan
emosi, kontrol, dan koordinasi gerak.
Menurut dr. Hardiono D. Pusponegoro ApA
(K) dari bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
pada penderita autis terdapat pola
pertumbuhan otak yang berbeda dengan
anak normal. Pada masa sebelum lahir
sampai usia dua hingga tiga tahun terjadi
percepatan pertumbuhan otak secara
abnormal dengan fungsi abnormal pula.
Namun, pertumbuhan otak yang cepat itu
tidak dapat dipertahankan. Mulai usia 6
tahun sampai remjaa, terjadi perlambatan
pertumbuhan otak sehingga volume otak
pada remaja dan dewasa lebih kecil
dibanding otak normal.
Nah, udah tau apa itu autis dan penyebab
autis, sekarang kita bicara bagaimana
mengobatinya.
Terapi Psikofarmakologi
Terapi ini efektif untuk mengurangi
perilaku autistik, seperti hiperaktif,
penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri
sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.
Sejumlah observasi menyatakan,
manipulasi terhadap sistem dopamin dan
serotonin dapat bermanfaat bagi pasien
autis
Terapi Nonmedikamentosa
Untuk meningkatkan keterampilan sosial
serta kegiatan sehari-hari, penyandang
autis perlu diterapi secara
nonmedikamentosa yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika
Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit
Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk
meningkatkan interaksi sosial dan
komunikasi, terapi perilaku untuk
mengendalikan perilaku yang
mengganggu/membahayakan, terapi
wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-
integrasi yaitu pengorganisasian informasi
lewat semua indera, latihan integrasi
pendengaran (AIT) untuk mengurangi
hipersensitivitas terhadap suara, intervensi
keluarga, dan sebagainya
Terapi Biomedis
Untuk memperbaiki gangguan saluran
pencernaan yang bisa memperburuk
kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi
biomedis. Terapi ini meliputi pengaturan
diet dengan menghindari zat-zat yang
menimbulkan alergi (kasein dan gluten),
pemberian suplemen vitamin dan mineral,
serta pengobatan terhadap jamur dan
bakteri yang bercokol pada dinding usus.
Oke, berhubung udah tau apa itu autis,
penyebabnya apa dan bagaimana
mengatasinya, sekarang saya mau
memberi contoh kasus autis. Seorang anak,
NN, memiliki perkembangan yang sangat
lamban. Dalam usia dua tahun ia belum
dapat mengucapkan sepatah kata pun. NN
hanya sedikit menunjukkan kemampuan
berkomunikasi dengan lingkungan di
sekitarnya. Bahkan dapat dikatakan ia
seperti tidak menghiraukan sama sekali
lingkungannya. Kecuali ekspresi untuk
menunjukkan keinginannya, tak ada bentuk
komunikasi apapun yang ia tunjukkan
kepada siapapun di sekitarnya. Sepanjang
hari, ia hanya berlari kesana kemari di
ruang tamu dan sekitar rumahnya.
Padahal, anak- anak seumurannya sudah
dapat berbicara dan mengekspresikan
kelucuan kanak- kanaknya. Melihat
kejanggalan dalam perkembangan itu,
orangtua NN yang berdomisili di Jakarta
pergi ke seorang dokter dan mendapatkan
jawaban bahwa NN menunjukkan indikasi
autisme
Sekarang, setelah mengetahui autis secara
detail, apakah kita masih tega
“ menggunakan mereka” untuk bahan
tertawaan atau candaan kita? Seharusnya
kita bersyukur dengan kondisi kita yang
normal, dan salah satu cara bersyukur
adalah dengan mngasihi orang-orang yang
mengalami kekurangan, bukan menjelek-
jelekkan mereka. Karena penderita autis
juga berhak hidup seperti kita semua. So,
mulai sekarang saya mengajak kita semua
untuk STOP MENGGUNAKAN AUTIS UNTUK
BERCANDA ….!!!
Posting Komentar