0
Taitung - Chen Shu-chu hanyalah seorang pedagang sayur biasa yang punya kios di pasar besar Taitung County, kawasan tenggara Taiwan. Tapi, sejak majalah Time merilis daftar "100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia", Kamis lalu (29/4), perempuan berusia 59 tahun itu mendadak (kian) tenar.


Chen Shu-Chu


"Apa itu majalah Time? Saya tidak pernah tahu," ujar Chen, saat diwawancarai Central News Agency, di kiosnya, Jumat (30/4) lalu. Dia bahkan mengaku malu saat diberi tahu bahwa majalah bergengsi Amerika Serikat (AS) itu memasukkannya dalam daftar "100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia". Ia sejajar dengan mantan Presiden AS Bill Clinton, reformis Iran Mir-Hossein Moussavi dan bintang film laga Jet Li. "Ini membuat saya malu. Tapi, terima kasih atas perhatian anda semua," lanjutnya.



Dalam esai yang dia tulis tentang Chen untuk Time edisi Kamis lalu, sutradara Brokeback Mountain, Ang Lee, menyatakan kagum pada kesederhanaan perempuan berambut sebahu tersebut. "Ini bukan tentang sesuatu yang luar biasa. Tapi, justru tentang kesederhanaan dan kemurahan hatinya," ungkap pria berdarah Amerika-Taiwan tersebut. Sebab, meski tidak bergelimang harta dan kemewahan, Chen selalu menyempatkan beramal.



"Uang menjadi berguna hanya jika berada di tangan orang yang membutuhkannya," tandas Chen. Karena itu, tidak heran jika selama 17 tahun terakhir dia menyumbangkan tidak kurang dari USD 320.000 (sekitar Rp 2,8 miliar) ke yayasan-yayasan sosial. Termasuk donasi untuk yayasan anak-anak dan panti asuhan yang besarnya masing-masing USD 32.000 (sekitar Rp 288,3 juta). Juga sumbangan senilai USD 144.000 (sekitar Rp 1,29 miliar) untuk perpustakaan sekolahnya dulu.



Namun, Chen menolak disebut sebagai dermawan. "Saya tidak pernah memberikan donasi yang nilai nominalnya sangat besar," tandasnya, seperti dilansir Agence France-Presse, Sabtu (1/5) kemarin. Pekerja keras yang memiliki tiga anak angkat itu juga enggan bercerita banyak soal sumbangan-sumbangannya ke yayasan sosial. Sebab menurutnya, amal yang dia berikan bukan untuk dipublikasikan. "Apalagi, ini juga bukan bagian dari kompetisi," imbuh Chen.



Perempuan yang tidak tamat sekolah dasar karena kesulitan biaya itu, menekuni bisnis sayur-mayur di pasar Taitung sejak berusia 13 tahun. Awalnya, dia hanya membantu orangtuanya yang memang pedagang sayur di sana. Kini, dialah yang mengelola kios sayur tersebut. Selama hampir lima dekade, Chen menjadi pedagang sayur dengan jam terbang paling tinggi. Sebab, tiap hari, kiosnya-lah yang buka paling pagi dan tutup paling sore.



"Mengagumkan. Tapi, di atas semua (donasi) yang sudah dia berikan itu, keteladanan-lah yang menjadi sumbangan terbesarnya," terang Time dalam pernyataan resminya tentang Chen. Sosok rendah hati itu sendiri, mengaku berambisi memberikan pendidikan serta makanan dan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Karena itu, wajar jika Time mencatatkan nama Chen dalam kategori pahlawan di daftarnya. Sementara Maret lalu, Chen juga dinobatkan sebagai satu dari "48 Pahlawan Amal Asia" oleh majalah Forbes.



Keluarga Miskin


Chen Shu-Chu

Shu-chu sendiri terlahir di keluarga miskin. Ayah dan ibunya hanya penjual sayur di pasar. Ia memiliki enam saudara yang hidupnya sangat bergantung dari hasil jualan sayur itu. ”Kami benar-benar miskin ketika saya kecil. Saya ingat adik saya sakit, tapi kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena kami sama sekali tidak punya uang,” kenangnya.



Untunglah guru-guru di sekolahnya menggalang dana untuk adik Shu-chu. Hingga akhirnya si adik berhasil sembuh. Sejak saat itu Shu-chu berjanji dalam hati, kelak ia akan membantu sesamanya jika sudah bisa mencari uang sendiri. Ujian yang diterima Shu-chu ternyata belum berhenti. Ketika berusia 13 tahun, sang ibu meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Shu-chu merasa terpanggil untuk membantu ayahnya berjualan.



Ia pun harus berhenti sekolah dan total mengabdikan hidupnya untuk mencari nafkah. Dari penghasilannya setiap hari, Shu-chu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Hal itu dilakukan setiap hari. Hingga pada jumlah tertentu, Shu-chu mendonasikan kepada anak-anak yatim piatu. Memang tidak setiap tahun Shu-chu menyumbang, tapi setiap hari dia konsisten menabung. Paling tidak Rp 30 ribu ia sisihkan untuk ditabung.



Demi tabungan Rp 30 ribu setiap hari itu, Shu-chu harus bekerja selama 18 jam sehari. ”Saya bangun jam tiga pagi setiap harinya, kemudian mengambil sayuran dari pasar induk dan dibawa ke pasar kecil tempat saya berjualan,” tuturnya. Mulai pukul 04.00 hingga 20.00, Shu-chu bekerja di pasar. Ia hanya makan sekali sehari agar bisa menyisihkan uang lebih banyak. Hal itu dilakukan setiap hari tanpa lelah dan mengeluh selama 46 tahun. ”Memang melelahkan dan kadang membosankan. Tapi, saya berusaha melakukannya dengan ikhlas karena saya memiliki niat untuk menyumbang lebih banyak lagi dari penghasilan saya setiap harinya,” kata Shu-chu.




Rela Tidak Menikah


Chen Shu-Chu


Demi mendapatkan uang yang banyak dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya, banyak yang harus dikorbankan Shu-chu. Selain sekolah, Shu-chu juga rela tidak menikah. Padahal ketika berusia 20-an tahun, Shu-chu nyaris mendapat kesempatan itu. ”Iya, saya memang tidak menikah, tapi sempat hampir. Waktu itu usia saya baru 20-an tahun, kemudian ayah saya mendekati saya dan menanyakan mana yang lebih penting, kehidupan pribadi saya atau saudara-saudara saya?” kenang Shu-chu.



Shu-chu pun berpikir ulang, kemudian memutuskan untuk tidak menikah. ”Saya menyadari apa gunanya hidup bahagia sementara saudara-saudara saya menderita. Toh itu juga tidak akan membuat saya bahagia,” katanya. Dengan ikhlas Shu-chu pun tetap melajang hingga usia hampir enam dasawarsa ini. ”Kebahagiaan keluarga saya lebih penting. Setelah mereka bahagia baru memikirkan kebahagiaan saya sendiri,” imbuhnya.



Dengan melajang, Shu-chu juga merasa lebih fokus dalam menjalankan misinya. ”Andaikan saya berkeluarga, tentu saya tidak bisa berdonasi lebih banyak. Karena tentunya banyak kebutuhan yang harus saya penuhi,” kata Shu-chu lagi.



Lantas, adakah saran atau nasihat agar orang lain bersedia mendonasikan uangnya untuk orang lain? ”Aduh, setiap orang kan memiliki prinsip sendiri-sendiri. Saya berkomitmen beramal karena dulu saya pernah dibantu. Kemiskinan itu sangat mengerikan, karena keluarga saya sangat miskin dulu. Jadi, saya ingin mengurangi kemiskinan sesuai kemampuan saya,” sarannya.



Menurut Shu-chu, setiap orang juga bisa beramal. Tidak perlu menjadi kaya untuk bisa melakukannya.

(Diolah dari berbagai sumber)

Posting Komentar

 
Top