Cerpen Karya Siti Ma'sumahJreng...jreng..jreng
Petikan gitar pengamen jalanan yang begitu kasar membangunkan tidurku di bis antar kota. Aku sudah terbiasa mendengar petikan gitar ini, tidak selembut yang aku inginkan. Petikan yang sama untuk semua lagu. Aku merasakan demikian. Entah tak tahu bagaimana orang lain merasakannya. Mungkin sama denganku.
Terlihat dua orang pengamen berada di deret antar bangku bis. Mereka membawa gitar dan gendang kecil. Baju yang dikenakannya tampak compang camping dan kumal. Wajahnya kusam. Mungkin karena terlalu lama terkena sengatan matahari. Berbekal gitar dan gendang kecilnya mereka berduet ala penyanyi di panggung hiburan. Pengamen yang satu menyanyi lirik ini dan satunya melanjutkan lirik yang lain. Begitu seterusnya. Kudengarkan lirik demi lirik lagu yang mereka nyanyikan. Lagunya begitu menyentuh dan suara merekabegitu syahdu. Entah apa yang aku rasakan, aku benar-benar tersentuh ketika mereka menyanyikan lagu itu. Lagunya “ Zifilia, Pintu Taubat”Bersemi Di Bis Kota - Cerpen CintaBegitu sedih kumendengarkannya. Apalagi yang menyanyikannya pengamen. Terasa tak sanggup kudengarkan lagu ini. Sungguh menyayat hatiku. Tak tersadar air mataku terjatuh sedikit demi sedikit. Aku sadar hidupku penuh dengan dosa. Akulah Hamba-Mu yang tak pernah luput dari dosa dan kesalahan yaa Rob. Mereka begitu merdu dalam menyanyikannya. Walaupun iringan musiknya tak selaras dengan nada lagunya. Bagiku tak masalah, yang terpenting adalah mereka mampu membawakannya dengan syahdu dan penuh haru.
Air mataku tak bisa tertahankan lagi, jatuh dan terus terjatuh. Tak perlu malu dan muna untuk mengakuinya, memang aku menangis. Aku mudah tersentuh dengan nyanyian sebuah lagu. Kupandangi kiri jalan di sebelahku lewat jendela kaca. Berharap air mata ini tak menetes lagi. Tapi, sia-sia. Selagi pengemen itu belum berhenti bernyanyi, ku tak bisa menahan derasnya air mataku.
Tiba-tiba, sesosok lelaki menyodorkan tisu putik kepadaku. Tak ada kata yang ia ucapkan, hanya untaian senyuman hangat dari wajahnya yang bisa kulihat. Wajahnya tampak belas kasihan melihatku yang terus menangis mendengar lantunan lagu itu.
“Terimaksih, tak usah repot-repot” ucapku pelan.
“ Udah ambil aja, aku ikhlas kok. Aku tahu kamu menangis. Kamu tersayat-sayat hatinya kan mendengar lagu itu?” tegasnya tenang.
Pertanyaan yang membuatku tersipu malu. Memang benar aku menangis menikmati lantunan indah lagu ini. Diapun bisa merasakannya. Timbul pikiran yang tak menentu. Jangan-jangan dia memperhatikanku selama di perjalanan. Ah, sudahlah. Tak penting.
Kuterima pemberian tisunya.
“Makasih yaa..” ungkapku pelan.
“Bener banget,aku begitu menikmati lantunan lagu ini, brgitu indah dan haru. Terlebih yang menyanyikannya pengamen jalanan.”
Terlihat wajah lelaki itu sedikit haru dan pilu. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama denganku. Buktinya, matanya memerah.
“Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Tapi, tak sepertimu, mudah sekali menangis. Kalo aku mending menangis dalam hati biar tak seorangpun tahu” tuturnya serasa membela kaum pria yang penuh kejantanan.
“Memang sih, masa cowo menaangis mendengar lagu kayak gitu. Kagak jantan banget.Hehehe” sambungku sembari mengusap air mata di pipiku.
“Nangis aja pake ketawa, kamu lucu tahu. Jarang ada cewe kaya kamu yang kelihatnnya maco, tomboy, tapi hatinya lemah dan mudah tersentuh. Heheheh” Ucapnya.
Sejeenak kuterdiam. Memang penampilanku begini, tomboy dan maco. Tapi, aku memang cewe yang identik dengan hati yang lembut dan mudah tersentuh. Kupikir benar juga yang dikatakan lelaki yang sok akrab denganku itu. Entah siapa namanya yang jelas dia baik hati.
“Bisa saja kamu, walaupun seperti ini penampilanku, tapi aku memang cewe. Layaknya cewe lain.” Ucapku sedikit tegas.
“Hehehhe yang jelas aku tahu kamu. Walupuan pemanlilanmu kayak gitu, tapi kamu tetep aja cewe yang tercipta dengan hati yang lembut.” Sahutnya tenang.
Percakapan kita sejenak terhenti. Kedua pengemna itu sudah selesai berduet. Diambilnya topi yang dikenakannya sembari mengelilingi semua penumpang. Berharap penumpang menyisihkan sebagian rejeki yang dimilikinya. Disodorkannya topi itu di hadapanku dan lelaki di sampingku. Untungnya sudah kupersiapkan uang recehan sejak dari kost untuk pengamen. Kuberikannya kepada pengemen itu. Diapun menatap wajahku dan mengucapkan terimakasih.
“Sungguh pengamen yang sopan” batinku. Percakapan dengan orang yang tak kukenal kembali kulanjutkan. Entah siapa orang itu yang jelas dia sudah mau berbicara denganku. Mungkin kalo tidak ada orang itu, aku selalu terdiam dan menikmati lantunan lagu dari pengamen sendirian.
“ Iya, iya. Aku memang cewe.” Ucapku sedikit sewot.
“ Haduw, cewenya cemberut ni.” Ungkapnya sambil meledekku. Memang aku sedikit marah sama dia. Dia sok akrab soalnya dan meledek terus. Maklum belum pernah kena tamparanku. Kalo si kampus, hampir semua cowo yang godain aku dan temanku udah pernah mendapatkan kado tamparan dariku.
“Ow, siapa yang marah. Enak aja”
“ Hmm, ya udah kalo gak mau ngaku. Eh, kamu mau turun dimana?” tanyanya.
“ Bentar lagi juga sampai, di simpang lima. Kamu dimana?” tanyaku balik.
“ Aku di perempatan depan” jawabnya pelan.
“ Oh, berarti kamu dulu dong yang turun.” Tanyaku lagi
“ Iya, hati-hati yaa? Jangan nangis lagi. Nanti gak ada yang kasih kamu tisu lo.heheh” ucapnya sambil meledekku.
“Iyalah, iya. Uh, kamu. Iya gak lah. Emang aku cengeng banget apa, yang tadi tuh, gara-gara lagunya bikin nangis.huuh” jelasku.
“Ya udah yaa, hehhe. Aku mau turun. Daaa.
Sampai jumpa lagi. See you next time”.
“iya, daa..”
“Tanjung. Tanjung. Tanjung” ucap kenek bis di samping pintu. Lelaki itupun maju ke depan sambil menatapku seraya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Bispun berhenti di Tanjung dan lelaki itupun turun. Tanjung adalah nama dari sebuah perempatan di Banyumas, Purwokerto.
Dari jendela kaca, kulihat sosok lelaki itu yang masih mencari sosokku. Di tersenyum setelah melihatku. Senyuman hangat darinya selalu terkenang di hidupku. Sungguh kutemukan lelaki yang beda dari biasanya. Di kampus, jarang sekali lelaki seperti dia. Semuanya gombal dan terlalu alay. I don’t like.
“Oh, iya, aku lupa. Kenapa tadi aku gak kenalan sama dia. Ya ampun?’’ pikirku.
Penyesalanku tuk yang pertama kalinya menyia-nyiakan lelaki yang sudah baik denganku dan mampu mengambil hatiku. Aku terlalu jaga image di depan dia. Jadinya begini, nyesel di ujungnya. Di perjalanan menuju kampung halamanku. Kududuk sendirian. Kumerenung dengan kejadian tadi. Pengamen dengan lagu yang dinyanyikannya dan lelaki itu.
“ Kenapa di jaman seperti sekarang ini, masih banyak pengamen jalanan yang seperti mereka? Tak memiliki keluarga yang utuh. Hidupnya di jalanan dan harus mengumpulkan recehan demi recehan untuk makan. Uang sangat berarti untuk kehidupannya. Recehan yang seolah tak ada artinya untuk mereka yang berdasi, bagi mereka itulah kehidupannya. Aku salut kepada mereka. Itulah pekerjaan mereka. Tanpa rasa malu dan ragu mereka bernyanyi, mengumpulkan uang untuk makan. Mungkin kalo tidak ada pengamen kita tak akan pernah ada yang mengingatkn memberi sebagian rejeki untuk mereka.” Pikirku.
Lelaki itu sudah baik denganku. Walaupun ku tak tahu siapa dia, yang jelas dia sudah memberiku sedikit lentera untuk tidak memandang rendah kaum pria.
Tak disadari, akupun tertidur. Hal yang sudah biasa terjadi padaku. Bagitu pulasnya tertidur di bis. Aku sampai lupa kalo sebentar lagi turun. Mungkin kenek bis sudah berkoar-koar menyebut simpang lima. Aku tak mendengarnya. Mungkin karena aku begitu capek dan pulas tidur di bis.
“Persiapan. Terminal, terminal, terminal. Cek barang bawaan kalian terlebih dahulu sebelum turun. Kami tidak bertanggungjawab dengan barang yang sudah hilang.” Ucap kenek bis dengan nada keras dan ngapak.
“oh, my God. Ini sudah terminal” batinku.
Padahal harusnya aku turun di simpang sebelum terminal. Ini pasti akibat terlalu memikirkan lelaki itu dan terlalu pulas tidur. Terpaksa aku harus ngojek ke simpang lima menemui bapakku di sana.
Selesai
Siti Ma'sumah itulah namaku. sekarang aku sednag belajar di Universitas Negeri Semarang. Daerah tempat tinggalku di Kebumen..sampaikan kritik dan sarannya yaa..
selamat membaca ...
Posting Komentar