0
BUNDA
Cerpen Karya Chairunnisa AthenaDengar laraku ...
Suara hati ini memanggil namamu ...
Karena separuh aku ...
Dirimu ...

Toktoktok.
Aku menggeliat di atas tempat tidur sambil menguap panjang. “Iya bun, bentar lagi aku juga bangun,” Pagi ini entah untuk yang keberapa kalinya Bunda mengetuk pintu kamarku, bahkan sambil menggedor dan meneriakkan namaku.
Sambil menatap weker di atas meja, aku segera merapikan tempat tidur dan melipat selimut. Beeeh, baru juga jam setengah enam. Aku mengeluh dalam hati.
Aku segera beranjak keluar kamar dan mengambil handuk. “Ada apa sih, Bun? Ini kan baru jam setengah enam. Biasanya aku juga bangun jam setengah tujuh kok,” Bunda tersenyum. Peluh menetes deras dari ubun-ubunnya. Pasti Bunda habis menyiapkan dagangan ke pasar.
“Bunda pusing, kamu siapin sarapan sendiri ya,” Ujarnya sambil meneguk segelas air putih hangat. “Iya deh,” Ujarku cepat sambil melingkarkan handuk ke leherku.

“Nanda,” Bunda mengetuk pintu kamarku. “Belum selesai juga nak? Jangan lama-lama dandannya, kamu belum sarapan kan nak? Nanti telat.” Bunda menyentuh pundakku. “Kayaknya Nanda ngga sarapan deh bun, Nanda belum masak nih, nanti Nanda telat,” Ujarku sambil meringis. “Ya sudah, bunda buatin roti bakar aja ya.”
Aku bersorak dalam hati melihat bunda keluar kamar. Uuh. Masa pagi-pagi aku disuruh masak? Bau bawang ah.
Aku meraih ganggang pintu depan. Bunda lama banget masaknya. Kalau bunda nanti marah aku ngga makan, kan salah bunda. Kenapa masaknya lama bener? Aku kan bisa telat.
Aku meraih sepatu di rak dan menutup pintu depan dengan perlahan. Setengah berlari aku menuju gang depan dan menyetop angkot.
Tak seperti biasanya hari ini angkot sepi. Yang ada hanya aku dan tiga orang cewek SMA yang lagi ketawa-ketiwi nggak jelas. Acuh tak acuh aku mengeluarkan handphone dari dalam tas dan mendengarkan musik dari headset.
Lima belas menit perjalanan dari rumah kulalui sambil berdendang pelan mengikuti suara penyanyi favoritku. Aah, rasa lapar sedikit menggangguku. Tapi, begitu melihat teman-temanku yang berkumpul di dekat gerbang, rasa lapar itu bukan lagi sebuah masalah.

“Nandaaaa,” Sebuah suara memanggilku. Sambil mengikatkan lengan jaket ke pinggangku, aku menoleh. “Hei,” Jawabku sambil tersenyum. Tasya berlari menghampiriku sambil membetulkan letak dasinya.
“Ngelamun aja loe. Makan yuk!” Katanya sambil menepuk pundakku. “Malas banget, entar lagi kan Mr. Punk mau masuk, ogah gue disuruh hormat bendera panas-panas gini.”
“Hush!” Ujar Tasya sambil terkikik mendengarku memangil Pak Nas dengan sebutan Mr. Punk. “Enggak kok, beliau nggak masuk hari ini. Katanya sih anak 9-6 kemarin kosong sama dia, ke Pekan Baru, seminggu ini.”
“Ouuuh,” Bibirku melengkung membentuk huruf O besar. Kurogoh sakuku untuk memeriksa sisa uangku. Kebiasaan. Kalau mau jajan harus periksa kantong dulu, siapa tau lagi sial kan?
Agak gelagapan aku memeriksa saku rokku, saku bajuku kosong-melompong. Sambil menarik saku rok keluar aku mecoba mengingat-ingat kembali. Oiyaa, duit buat hari ini kan udah gue jajanin kemaren. Siaal! Mana dompet gue tinggalin di kasur lagi.


Melihat gelagatku yang bengong sambil memegang saku, Tasya langsung terkikik. ”Cie, ngga bawa duit nih! Entar-entar aja deh makannya,” Tasya langsung membetulkan seragamnya dan mulai melangkah.
“Woii, traktir gue dong! Sekaliii aja! Laper nih, belum makan dari pagiii!” Mendengar teriakanku yang bergema di sepanjang selasar, Tasya langsung ambil langkah seribu. Dasar!!


Pusing.
Ternyata begini rasanya ngga makan seharian. Mana pulang masih lama lagi. Nanda memijit pelan pelipisnya dan mencoba meredamnya dengan memakan permen karet yang sudah lewat expired yang dia temuin di dalam tas.
Hera yang duduk di sebelahnya acuh tak acuh tetap memandang ke arah papan tulis. Nanda tahu benar, Hera punya banyak persediaan cokelat dalam tasnya. Tapi mau bagaimana? Gengsi dong minta-minta sama si pelit yang satu ini. Nanda mencoba menidurkan kepalanya di atas meja sambil mencoret-coret buku di depannya.
Matanya berat. Ia pengen tidur, bentaaar saja. Perutnya sakit dan dia udah ga tahan lagi. Nanda menelan ludahnya mencoba menahan sebentar lagi. Tapi semua sudah keburu gelap dan yang ada di pikiran Nanda hanya deru nafas yang bergema di dalam kepalanya.


“Ndaaa...”
Nanda membuka matanya perlahan. Sosok kecil dan ringkih itu duduk di ujung kasur ruang UKS. Nanda memicingkan kedua matanya. Silau. Sejak kapan bunda sekurus itu?
“Halo sayang,” Bunda memijit kakiku dan tersenyum lemah. “Yuk makan, nih udah bunda bawain bubur ayam Mang Adi, kesukaan kamu.”


Bunda meraih bantal di kepalaku dan menegakkan kepalaku di atasnya. “Nggak ah Bunda, perut Nanda masih perih.” Bunda tersenyum lagi. Tak pernah aku melihat bunda sesabar ini sebelumnya.
“Ayo dong sayang,” Bunda mencoba lagi sambil membuka kotak bubur. Aku diam seribu bahasa, kalau sudah begini biasanya bunda bakal cepet ngalah. Tapi perkiraanku salah, bunda tetap mencoba merayuku sambil sesekali mengusap-usap rambutku.
“Nggak bundaaaaa,” Aku mulai merajuk. Bunda terdiam dan mengambil kotak bubur dari atas meja dan menyodorkannya ke arahku. “KENAPA SIH BUNDA NGGA BISA DIKASIH TAHU!!?” Aku berteriak dan mendorong lengan bunda. Kotak terlempar. Bubur berterbaran. Bunda terdiam dan menatapku kosong. Aku menangis. Pusing yang amat hebat menyerang kepalaku tepat di titik didihnya.


“Ndaaaa...”
Aku membuka mata. “Iya bunda, Nanda ngga mau makan buburnya.”
Bisik-bisik terdengar, cahaya matahari yang masuk dari sela-sela gorden membuatku sulit melihat. “Emmm ini gue Nda,” Itu suara Tasya. Sesaat aku langsung terjaga dan melihat seluruh murid di kelas lagi duduk bersila di lantai atau duduk di sekitar kasurku. “Mana bunda gue Sya? Gue pengen pulang, bilangin dong. Gue pengen minta maaf, gue ga maksud buat ngelemparin bubur tadi.” Tasya tercengang dan menatap teman-temanku.


Bu Anti yang duduk di sudut ujung kanan kasurku menatapku tajam dengan mata dan hidung yang memerah. Sapu tangan yang digenggamnya basah kuyup entah oleh apa.
“Bubur apa Nda?” Tasya mulai terisak. Matanya berkaca-kaca.
“Ya bubur ayamlah Sya. Eh tapi kok kasurnya udah bersih sih? Kan tadi buburnya jatuh di sini,” Aku mengelus-ngelus kasur dan merapatkan selimut ke seluruh badanku. Segan dipadangi dengan berbagai ekspresi oleh teman-temanku.


Tasya terisak lagi dan tiba-tiba Bu Anti menangis. “Oke, sebenernya ada apa sih?” UKS yang sedari tadi bising langsung hening. Seluruh mata tertuju padaku dan tiba-tiba sebuah suara memenuhi telingaku.
“Bundamu mengalami kecelakaan saat hendak menjengukmu ke sini, Nak. Ia tertabrak mobil di depan warung Mang Adi setelah membelikan bubur untukmu. Keadaannya kritis, Nda. Ia gegar otak parah dan kehabisan darah. Maaf Nda, keadaan sudah enggak memihak sama kita,” Di sudut pintu UKS Ayah memandangku dengan tangan bergetar. Jelas sekali sisa-sisa air mata di pipinya. Sebelumnya aku tak pernah melihat ayah menangis. “Maaf Nda, Ayah ngga bisa ngejagain Bunda.”
Tasya memelukku. Bu Anti menangis lagi dan beberapa siswa mulai menenangkannya. Ayah mendekatiku dan mengulurkan tangannya padaku. “Ayaaah...”


Dalam dekapan Ayah seluruh tubuhku menggigil. Lututku bergetar. Oksigen, aku butuh oksigen. Aku butuh udara. Sandiwara ini terlalu berat untukku. Aku tak bisa menjalani peran yang seperti ini.
“...Nanda ingin bilang maaf sama bunda saat ini juga, Yah. Nanda pengen denger bunda bilang sayang sama Nanda, Yah.” Haru yang kudengar. Kepalaku tersentak oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Aku hanya ingin tidur lagi. Bangun, dan semua hanya akan menjadi sebuah mimpi buruk.

Add facebook : Chairunnisa AthenaTanggal Kirim : 27/11/2013 21:14:01

Posting Komentar

 
Top