Hari ini…
Semilir angin sore berhembus membawa kesejukan serta kedamaian. Dengan langkah perlahan, seorang laki-laki tengah berjalan menyusuri jalan setapak melewati deretan makam-makam yang dingin. Di pemakaman kecil inilah tempat semua saksi hidup beristirahat meninggalkan sejuta kenangan indah bagi orang yang mencintainya.
Laki-laki berkemeja putih itu tampak membawa serangkai bunga mawar putih dan sebuah amplop putih di tangannya. Kebanyakan tanah di pemakaman memang sedikit lembab, sehingga sepatu yang ia kenakan terlihat bertanah di ujungnya. Namun hal itu tak dirisaukan olehnya. Langkahnya kemudian terhenti di sebuah pemakaman berkeramik putih. Di nisannya terukir sebuah nama “Anneke Hadiwijaya”.
***Venice, Hari Untuk Selamanya - Cerpen Sedih60 hari sebelum hari ini…
“Serius kak, kita pergi ke Venice?” Keke bersorak girang sambil berlonjak-lonjak di atas sofa. Gadis 16 tahun ini hampir saja jatuh terpeleset saking gembiranya.
Dityo mengembangkan senyum lebar melihat tingkah konyol adiknya itu. Keke memang sangat mendambakan untuk bisa pergi ke Venice. Sebuah kota kecil yang terletak di Negara Italia.
“Sudah, sekarang kamu siap-siap kemas barang-barang kamu terus istirahat. Kakak nggak mau kalo kamu kecapekan. Karena besok kita mau berangkat kemana…?” tanya Dityo menggoda sambil mencolek hidung mancung adiknya.
“VENICE…!!!” jawab Keke semangat lantas mendaratkan sebuah ciuman sayang ke pipi kanan Dityo. Keke kemudian beranjak pergi ke kamarnya dengan berlari-lari kecil. Dityo memperhatikan adik kesayangannya itu dari belakang sampai gadis itu menghilang masuk ke kamarnya.
Esoknya…
Setelah melalui perjalanan lebih kurang 14 jam dan sempat transit di beberapa Negara akhirnya Dityo dan Keke merasakan atmosfer keindahan Kota Venice. Sinar kebahagiaan adik kakak ini tak bisa dipungkiri dari raut wajah mereka. Rasa penat setelah melalui perjalanan panjang musnah seketika, tak berbekas sama sekali. Mereka saling merangkul, saling berpandangan dan tersenyum.
Setelah meletakkan barang-barang mereka di penginapan. Dityo dan Keke tampak tak sabar ingin segera menelusuri setiap celah di kota yang terkenal dengan julukan “The City of Water”, bahkan beberapa media Eropa menyebut Venice sebagai “Undoubtedly The Most Beautiful City Built by Man” dan “Europe’s Most Romantic Ccities”. Bagi Dityo ini adalah kali keduanya dia ke Venice, dulu waktu SMP Dityo pernah kesini bersama pamannya. Meskipun begitu, bisa pergi ke Venice bersama adiknya jauh lebih istimewa.
“Jalan-jalan yuk kak,” ajak Keke tidak sabar.
“Emang kamu nggak capek?” tanya Dityo lembut sembari mengelus rambut ikal Keke.
“Enggak tuh, ayo donk kak,” paksa Keke sambil menarik-narik lengan Dityo. Dityo tersenyum melihat tingkah ceria adik perempuannya itu, baginya kebahagiaan Keke adalah segalanya. Dityo lalu bergegas menggantungkan kameranya di leher. Momen seperti ini memang suatu hal wajib untuk diabadikan.
Perjalanan dimulai dengan menyusuri Kanal Grande yang membelah kota Venice. Kanal Grande inilah yang menjadi jalanan utama dan pusat transportasi air. Di Venice segala jenis transportasi dipusatkan di atas kanal-kanal seperti perahu, gondola serta bus air.
Suasana kota semakin terlihat berbeda dengan bangunan-bangunan khas Eropa, mulai dari bangunan gaya bizantium, gotik, renaissans hingga baroque yang memperlihatkan sebuah nilai seni yang tinggi indah berjejer rapi di sekitar kanal. Tak salah kalau Venice dikenal sebagai salah satu kota terindah di dunia. Tampak Dityo begitu asik mengabadikan setiap sudut bangunan yang memiliki nilai arsitektur tinggi itu. Sesekali Keke memasang gaya bak foto model di tepian kanal, tak mau kalah Dityo juga mengeluarkan jurus bak photographer handal.
Cuaca di Venice kali ini begitu mendukung. Dengan membawa selembar peta kecil, Dityo mengajak Keke untuk menyusuri jalanan-jalanan kecil Venesia yang berliku-liku seperti labirin. Sambil menikmati setiap sudutnya, Dityo membelikan Keke es krim khas Italy yaitu Gelato. Dityo dan Keke memilih rasa pistachio yang rasanya sungguh yummy.
Setelah puas menyusuri jalanan kota Venice. Dityo mengajak Keke ke kawasan Piazza San Marco. Piazza San Marco ini adalah sudut yang paling penting karena merupakan alun-alun utama Venesia. Bangunan yang kental dengan aksitektur romawi ini dipenuhi dengan ratusan burung-burung merpati yang jinak. Keke selalu bertingkah jahil, dia hobi sekali mengusir kerumunan merpati yang sedang berkumpul dengan tiba-tiba berlari tepat di tengah merpati itu bercengkrama. Dityo yang melihat hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus mengabadikan setiap momen kebahagiaan adiknya itu.
“Kita makan dulu yuk sekalian istirahat ngumpulin tenaga. Habis itu baru kita lanjutin lagi jalan-jalannya. Memangnya kamu nggak lapar?” ajak Dityo. Keke lalu mengelus-elus perutnya, dan ternyata cacing di perutnya memang sudah memberontak dari tadi hanya saja tak terasa saking asiknya menikmati indahnya Venice.
Dityo menggandeng tangan Keke menuju sebuah restoran yang berada persis di pinggir sungai. Sengaja Dityo mengajak makan di restoran itu, tujuannya tak lain agar bisa menikmati pemandangan dari kapal-kapal dan gondola yang hilir mudik melewati sungai. Dityo lalu memesan spaghetti seafood untuk Keke dan dirinya.
“Kak aku pingin naik itu,” ajak Keke sambil menunjuk salah satu gondola yang sedang membawa dua orang turis.
“Iya, nanti ya adikku sayang. Sekarang kamu fokus dulu habisin makanannya, jangan celingukan kayak gitu ntar salah suap bukannya masuk ke mulut malah nyasar ke hidung,” kata Dityo.
Keke mengangguk tapi tetap saja dia tak mau berhenti celingukan memperhatikan setiap gondola yang hilir mudik di sungai. Pandangannya telah jatuh cinta pada Venice semenjak Keke menonton sebuah tayangan televisi yang menyuguhkan kecantikan “The City Of Water” ini.
Disini semua serba indah, segalanya mempesona. Venice mempunyai keindahan yang langka, siapapun yang pernah ke Venice pasti mempunyai kerinduan untuk kembali lagi ke kota ini. Sepertinya Keke juga begitu, hatinya bak kutub utara dan Venice adalah kutub selatannya selalu ada daya tarik yang tak bisa dicegah.
Selesai makan, Dityo akhirnya mewujudkan keinginan Keke. Dityo menyewa sebuah private gondola yang hanya dinaiki oleh mereka berdua. Gondola mulai berjalan menyusuri kanal sungai kecil.
“Kamu tau nggak para masyarakat disini percaya bahwa pasangan yang berciuman di atas gondola tepat di bawah jembatan artistic disana,” Dytio menunjuk sebuah jembatan diikuti pandangan Keke. “Pada saat matahari terbenam cinta mereka pasti akan kekal selamanya.”
“Percaya deh sama kakak, aku berharap bisa kesini lagi dengan pasanganku kelak,” Keke tersenyum. Dalam hati Dytio mengaminkan harapan adiknya itu.
Setelah naik gondola Dityo dan Keke melanjutkan perjalanannya kembali. Tak tampak rasa penat di mata mereka.
“Kamu tau nggak ini jembatan apa?” Dityo meyandarkan punggungnya di tepian jembatan.
Kekek menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak tau kak.”
“Jembatan ini namanya Bridge of Sigh atau jembatan keluh kesah. Karena disinilah setiap tahanan melihat dunia luar untuk terakhir kalinya sebelum memasuki ruang tahanan gelap,”
Keke terdiam sepertinya ada sesuatu yang tiba-tiba tersirat dalam logikanya. “Kak, aku mau tanya?”
“Tanya apa?” Dityo menjawab santai, dia sepertinya tidak menyadari perubahan air muka Keke yang kini tampak sayu.
“Kakak ngajak aku ke Venice dalam rangka apa? Kan aku belum liburan,” tanya Keke yang tampak sedang memandang jauh kearah lajunya air.
“Kakak mau mewujudkan keinginan kamu, kamu kan pingin banget ke Venice. Ya,,, anggap aja ini hadiah ulang tahun kamu. Jadi pas kamu ulang tahun, kakak nggak punya hutang kado lagi. Kamu cuma tinggal traktir kakak makan bakso pakde Jarwo. Emang kenapa koq kamu tanya gitu?” Dityo menoleh kearah adik perempuannya itu. Dityo baru menyadari keceriaan adiknya kini telah hilang. Dityo menatap serius adiknya.
“Apa karena kakak belum tentu bisa memberikan kado pas hari ulang tahunku karena mungkin hari itu aku sudah nggak ada?”
Dityo tercekat. Dia memandang adiknya iba, lalu memeluknya erat. Tanpa sadar darah segar mengalir di hidung Keke. Mimisan lagi.
***
67 hari sebelum hari ini, 7 hari sebelum Venice
Di balkon rumah sakit itu, tampak kemesraan kakak adik yang saling berpelukan. Sudut mata mereka sama-sama mengeluarkan bulir air mata. Adik kakak ini sepertinya telah mendengarkan sebuah kabar teramat buruk.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang ke kakak kalau kamu sakit,” Dityo menatap tajam wajah Keke. Ada beban tergores di matanya.
“Aku nggak apa-apa koq kak,” Keke menenangkan Dityo tapi sebenarnya dia juga mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Nggak apa-apa bagaimana? Kamu dengar kata dokter kan. Kanker otak stadium 4 Keke,” Mata Dityo berair tak lama air itupun terjatuh di pelupuk matanya.
***
Venice, hari untuk selamanya…
Anneke Hadiwijaya.
Perlahan nama itu diusap dengan tangan lembut Dityo dari dedaunan dan bunga kamboja yang jatuh di atasnya. Rumput liar yang tumbuh dibersihkan dan taburan bunga mawar kini menghiasi makam beku itu. Rangkaian bunga mawar putih yang dibawanya diletakkan tepat di atas nama adik perempuannya yang kini telah tiada. Waktu memang begitu cepat berputar. Tapi sayangnya waktu enggan untuk berbalik ke belakang. Semua yang telah berlalu, memang harusnya berlalu. Semua yang tiada memang harusnya tak ada. Semua akan ada hikmah terbaiknya jika percaya. Dityo percaya itu.
“Kakak mau ngasih kabar bahagia ke kamu. Akhirnya kakak bisa dapatkan beasiswa seni di Venice,” amplop putih yang digenggamnya ternyata adalah surat undangan beasiswa ke Venice. “Sekarang kakak akan tinggal di kota impianmu. Mengenang setiap keceriaanmu dan mengukir indah namamu di setiap sudut Venice.”
TAMAT
Nama : Noviana KusumawatiFb : Http://www.facebook.com/noviana.kusuma24
Twitter : @novianaku
No. Urut : 177Tanggal Kirim : 27/11/2013 9:42:34
Kalau mau tau lebih banyak tentang aku, jangan lupa add my facebook or follow my twitter
Posting Komentar