0
SEPUTIH CINTA INI
Cerpen Karya Isma AniatsariResepsi pernikahan ini begitu meriah. Rombongan dari mempelai lelaki datang dengan mobil-mobil elite mereka. Suara Hadlroh yang ditalu menggema penuh semangat. Aku berdesakan dengan warga lainnya ingin menyaksikan arak-arakan mobil pengantin pria itu.
“Thola’al badru’alaina... minsyani yatil wada...” sang vokalis terus melantunkan shalawat nabi. Dari balik punggung seorang bapak tambun aku bisa menyaksikan sang mempelai pria turun dari mobil, aku terus menyeruak ke depan, hingga benar-benar sosok itu dapat kulihat jelas. Pengantin pria itu memakai baju khas jawa, di belakang lelaki itu, para sanak saudaranya membawa aneka hantaran untuk pengantin wanita.
“Adududuuuh.....” tiba-tiba Tania, sahabatku sudah berdiri disampingku dengan susah payah. “ Kamu ini gimanasih? Kok temen sendiri di tinggal?” omelnya. Tapi aku tak menjawab. Mataku terpaku pada sosok pengantin wanita yang tampak anggun dengan gaun putihnya. Gaun yang seharusnya aku kenakan.Seputih Cinta Ini - Cerpen CintaSeolah mengetahui pikiranku, Tania ikut memandang pengantin wanita itu, “ Kita enggak sepatutnya datang kesini! Ayo!” ia menarik lenganku kasar, lalu mendorongku masuk kerumunan undangan dan menghilang.
***

Jodoh memang rumit dan tak bisa di tebak. Mereka yang meski sudah berhubungan bertahun-tahun belum tentu akan menikah. Bisa jadi salah satunya malah menikah dengan seseorang yang baru seminggu dikenalnya. Bukankah begitu?
Demikian dengan aku. Namaku Indira. Sekarang umurku genap dua puluh tujuh tahun. Usia yang terlalu tua sebagai perawan. Makanya seluruh keluarga besarku ribut mencarikanku jodoh.
“ Kamu kok santai banget sih? Enggak malu disebut perawan tua? Apalagi adikmu sudah punya bayi, kamu ndak malu apa?” begitu ucapan yang sering menyembur dari keluargaku. Aku hanya bisa beristigfar. Bagaimanapun juga, aku tau jodoh itu pasti akan datang. Tapi entah kapan waktunya.


Akhir-akhir ini penyakit jantung bapak juga sering kambuh. Mungkin karna tidak tahan dengan sindiran para tetangga ditambah usianya yang memang sudah sepuh. Untuk menyenangkannya, akhirnya aku tak menolak saat aku dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan Tanteku. Hasan.
“Orangnya cakep Ra, masih muda sudah bisa jadi Direktur! Cocok sama kamu yang udah jadi PNS. Tante jamin kamu bakal bahagia menikah dengannya. Bapaknya juga konglomerat,” ia terus memperomosikan lelaki bernama Hasan itu.
Aku hanya diam. Jujur saja aku tidak terlalu tertarik pada Hasan ini. Bagaimanakah dengan agamanya? Apa ia bisa menjadi suami yang baik untuku?
Akhirnya, seluruh Keluarga besarku sudah menentukan kapan acara perkenalan kami. Bak akan menikah saja, mereka memasak banyak makanan, lalu mendandaniku dengan paksa.
“ Kamu harus terlihat cantik dihadapan Hasan Ra, beruntung lho wanita yang dilamarnya!” beruntung? Aku malah ingin tertawa melihat mereka melebih-lebihkan sesuatu yang tak menarik hatiku.
***


Hari perkenalanpun tiba, seluruh keluarga besarku sampai datang kerumahku hanya untuk menghadiri jalannya acara. Aku benci keadaan ini, apalagi melihat Hasan yang seenaknya menelitiku dari ujung jilbab sampai ujung kaus kakiku. Macam akan membeli barang saja!.
“ Bagaimana nak Hasan?” suara sepuh Bapakku memecah kesunyian. Hasan menarik nafas dalam dan menghembuskan asap rokoknya dengan nikmat, hal selanjutnya yang tak kusuka dari dia.
“ Boleh juga Pak, apalagi Indira ini guru SMAN, pasti orangnya tak seaneh pakaiannya!” Hasan lalu tertawa. Disusul oleh hampir seluruh Keluargaku. Aku semakin menunduk. Wajahku pasti sudah merah padam menahan amarah.
“ Kalo nanti sudah menikah, nak Hasan suruh saja Indira ini pake baju yang lebih gaul lagi. Indira ini penurut kok!” suara Mamanya seolah membelaku. Tapi aku merasa semakin di jatuhkan. Apalagi ketika Hasan kembali tertawa senang. Aku segera berdiri tak tahan.
“ Mau kemana nduk?!” suara Mamaku.
“ Maaf semuanya, saya tinggal sebentar kebelakang,!” aku segera berlalu dan mengurung diriku dikamar tanpa kembali ke ruang tamu. Sampai akhirnya keluarga Hasan pamit dan pergi.
***


“ Bagaimana ini Lus, jujur aku kurang serasi dengan Hasan. Tapi aku juga tak ingin mengecewakan Keluargaku. Apalagi selama ini mereka yang mencarikanku jodoh. Apa kata mereka kalau aku menolak Hasan?!” ruangan Guru ini sepi, jadi aku leluasa curhat pada adik angkatanku yang juga seorang Guru. Wajah cerianya memandangku, “ ya ditolaklah Bu! Moso Ibu rela mengorbankan kebahagiaan Ibu untuk si Hasan Hasan itu! Tapi saya heran, kok Ibu sampai hati tak menyukai Direktur sekaligus anak konglomerat itu?”


Aku memandangnya yang tak berkedip menatapku. Mengapa aku sampai curhat padanya padahal selama ini pandangan kami selalu bertolak belakang? Aku menatap jam tanganku, sudah waktunya.
“ kalau kamu mau tau sosok Hasan Hasan itu, ayo antar Ibu. Kami akan mencari cincin pernikahan sekarang!”
“wah? Secepat ini Bu? Kalian akan menikah?”
“ makanya Ibu jadi masygul. Hati Ibu tak yakin. Tapi waktu pernikahan sebentar lagi!”
Setelah bertemu Hasan, kami bertiga segera menyusuri setiap toko Mas yang ada di pusat perbelanjaan ini. aku kebanyakan diam dan hanya melihat-lhat saja. Dalam sekejap saja, Lusi tampak sangat akrab dengan Hasan. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa mereka sangat cocok.
***


Tiba-tiba Hasan menunda waktu pernikahan kami. Aku tak mengerti apa alasannya. Keluargaku berkumpul, mereka menghakimiku beramai-ramai. Mengintrogasiku layaknya penjahat. Apa salahku? Mengapa bisa begini? Apa yang terjadi? Mereka begitu bawel. Sebenarnya aku sedikit lega dengan keputusannya itu. Tapi aku juga heran, mengapa tiba-tiba Hasan merubah keputusannya.
“ Woi! Ngelamun aja!” tiba-tiba Tania datang mengejutkanku. Ia segera menghempaskan tubuhnya di kursi sebelahku.
“ Jangan ngagetin gitu dong!”


Ia terkekeh, lalu segera menyedot minumanku cuek,” calon pengantin nih, lagi galau eung! Enggak bisa ‘caranya’ ya?!” candanya. aku segera mencubit pahanya keras.
“ Aww!!! Jadi akhwat yang lembut dikit kek, ya ampun ukhti, pahaku pasti bengkak deeh!” ceracaunya. Sadar bahwa aku diam saja, Tania mendongak dan memandangku serius.
“ Ada masalah?!”
Aku hanya diam. Tania menggenggam tanganku, “ Kenapa? Apa tentang Hasan lagi?”
Aku mengangguk, lalu menghembuskan nafas berat. “ Dia menunda pernikahan kami.”
Sejenak Tania tampak heran, “ lha, bukannya itu yang kamu inginkan? Lantas, kenapa sekarang berduka cita begitu?”
Aku juga bingung. Entahlah. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Hasan. Terlebih saat ia... bertemu Lusi... ha? Lusi? Aku segera menggelang-gelang kuat.
***


Entah aku harus senang atau malah harus menangis bergulung-gulung. Hasan memutuskan hubungan kami! Tanpa alasan yang jelas ia tiba-tiba menelepon tanteku dan mengatakan ingin mengakhiri hubungan ini. jelas tanteku kaget. Bahkan mama sempat pingsan. Malam ini aku hanya mengurung diri dikamar.
Memandang wajah tirusku.
Sosok dihadapanku itu menatapku kosong. Kala aku berkedip ia berkedip. Kala aku tersenyum ia tersenyum. Kutelusuri wajahku yang mulai memudar pesona belianya. Mata yang redup, binar yang hilang, perlahan mataku berembun. Bukan... bukannya aku tak ingin menikah, tapi belum adanya lelaki shaleh yang menjemputuku sekarang. Ntah kapan, tapi aku yakin suatu saat nanti ia akan menjemputku. Aku yakin.
***

Aku membereskan arsip-arsip dan buku-buku yang berantakan di mejaku. Menyiapkan absen dab buku yang akan ku ajarkan beberapa menit lagi.
“ Bu?” sosok Lusi sudah berdiri di hadapanku. Aku segera tergagap dan memandangnya.
“ I Iya? Kenapa?”


Sejenak ia tampak ragu. Aku menunggunya dengan sabar.
“ kamu mau ngomong apa?”
“ Ngg... tapi Ibu jangan marah ya?”
“..... ini, tentang Hasan Bu.” Suaranya. Aku memandangnya tajam, sudah hampir lima menit aku terlambat ke kelas. “ kami, tapi Ibu jangan marah ya?”
“ Oo... kalian menjalin hubungan?” selidikku.
“ Tapi Ibu gak marahkan? Ibu pernah berkata kalian gak cocokkan?!” suaranya memelas.
Aku bergegas meraih buku dan tasku. “ Ibu harus ke kelas Lis,!” lalu tanpa menunggu jawabannya segera ku langkahkan kaki ini lebar-lebar. Tak terasa air mata ini jatuh satu-satu. Aku tak tau mengapa bisa sesakit ini. padahal dulu jelas-jelas aku mengatakan tak cocok dengan Hasan. Tapi...
Dua bulan kemudian, diatas mejaku tergeletak sebuah undangan pernikahan yang cantik, juga surat permintaan maaf dari Lisa. Wanita itu juga telah sekitar sebulan yang lalu mengundurkan diri dari sekolah ini. aku memandang nanar keluar jendela.
***


Puncak bogor yang sejuk. Aku tengah menikmati air kelapa yang di pojok sebuah warung yang terbuka. Warung ini menyajikan pemandangan luar biasa dari posisiku duduk. Dari puncak sini, aku merasa diriku sedang memandang Indonesia di bawah sana. Indah sekali.


Tak lama Tania datang membawa pesanan kami. Satu mangkuk mie baso beserta sambal yang sangat pedas kesukaan kami. Aku menyambut semangkuk mie dengan sumringah.
“wah... satu sendok ini cukup untuk mengahalau gelisahku!” aku mengangkat sesendok sambal sebelum mencampurkannya pada mieku.
Tania tertawa. Ia tengah berkutat dengan mie dan sambalnya. Kupikir anak ini lebih gila dariku. Bayangkan saja, ia sanggup menghabiskan lima sendok sambal yang dicampurkannya pada mie!
“ Jadikan Hasan itu sebagai masa lalumu Ra, lagi pula, bukan lelaki seperti diakan yang kamu inginkan?”


Aku terdiam.
“kamu yang sabar Ra. Insyaallah jodohmu pasti datang pada waktunya! Tak mungkin Allah menguji hambanya diluar kuasa hamba itu. Selama masa menunggu ini, teruslah perbaiki dirimu. Semoga dengan itu lelaki yang kau impikan benar-benar ada. Lelaki yang shaleh hanya untuk wanita yang shaleh pula! Jadi terus perbaiki dirimu ya ibu guru!”
“ Iya Tan, Insyaallah. Do’akan aku terus ya?!” aku merangkulnya. Sejenak kami melupakan mie kami. Aku jadi teringat kala harus berjuang sendirian mempertahankan pendirianku ini. seluruh orang rumah mendebatku. Katanya aku terlalu pilih-pilih hingga sulit mendapat jodoh. Tapi aku terus pada pendirianku. Meyakinkan mereka dengan tegas, bahwa aku tak ingin menikah dengan sembarang lelaki. Bahwa aku tak akan menikah dengan lelaki yang tak megenal tuhan dan nabinya. Bahwa aku tak akan menikahi lelaki yang tak bisa menuntun istrinya.


Meski sulit bagiku untuk menemukannya, tapi aku yakin calon imamku pastilah ada. Aku tak gentar bila ternyata Allah menyiapkan kekasihku di syurga. Biar di dunia ini hanya ibadah yang ku lakukan agar aku bisa bahagia bertemu dengannya kelak. Aku tak akan pernah lelah meraih cinta suci ini. aku akan selalu berikhtiar dan berdo’a padanya.
Nama: Isma aniatsari
Jurnalistik UIN Bandung,
Tinggal di: Bandung
Hobby : Baca Novel, Tarvelling, Nonton.
Visi: aku hidup karna tujuan

Posting Komentar

 
Top