0
SENJA DI MALIOBORO
Cerpen Karya Riska Okta Rudyshon

Di langit matahari mulai merayap dibalik ufuk barat. Saatnya ia melepas lelah dan tugasnya digantikan oleh sahabatnya, rembulan. Sementara itu di bumi kesibukan telah terjadi, anak-anak mulai berlarian menuju rumah masing-masing untuk segera mandi dan berganti baju yang dilanjutkan pergi ke surau-surau untuk mengaji. Sedangkan para ibu sibuk memasak sambil mengomeli anak-anak mereka yang terlambat pulang. Sementara itu para ayah hanya bisa mendengarkan sambil sesekali menimpali omelan para ibu.


Terlepas dari semua itu, sore hari tetaplah hal yang menyenangkan khususnya untukku. Aku bisa duduk berlama-lama di balkon kamarku yang menghadap tepat ke arah barat sambil menunggu detik-detik pergantian siang menjadi malam. Saat itu ingatanku akan kembali ke masa lalu yang belum dapat hilang sepenuhnya dari otakku.
“sayang, kamu udah mandi kah?”. Tanya mama membuyarkan lamunanku.
“belum ma, Andien masih males!”. Jawabku sambil tersenyum dan menghampiri mama yang berdiri disamping pintu kamarku. Mama menyambutku dan memeluk tubuhku. Iya, inilah yang aku paling kagumi dari sosok mama yang aku sayangi ini. Mama selalu tahu apa yang aku inginkan seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
“sebentar lagi Papa pulang! Kamu cepetan mandi habis itu kita makan malam bareng. Mama udah masak makanan favoritmu”. Kata mama sambil mendorong tubuhku pelan menuju kamar mandi. Dan aku hanya bisa menuruti perintah mama dengan senyuman.

Senja di Malioboro - Cerpen CintaSetelah selesai mandi, aku langsung turun dan segera menuju ruang makan. Disana sudah ada Mama dan Papa yang menungguku.
“apa kegiatanmu hari ini sayang?”. Papa mulai membuka percakapan di meja makan. Ini adalah kebiasaan dalam keluarga kami. Menjalin komunikasi sambil makan malam seperti ini dapat meningkatkan keharmonisan rumah tangga.
“seperti biasa Pa, hunting foto-foto unik!”. Jawabku bersemangat. Hobiku adalah fotografi. Sudah ratusan foto yang aku hasilkan dan sudah puluhan foto yang berhasil dimuat di majalah.
“hemm, baguslah dan ngomong-ngomong kapan orang tuanya Fandy kesini?”. Lanjut Papa sambil menatapku. Seketika itu juga kegiatan makanku terhenti. Mama yang melihat ekspresiku langsung mengalihkan topik pembicaraan sekaligus mengalihkan perhatian Papa dengan memperlihatkan surat yang dikirim oleh rekan bisnis Papa. Aku berterima kasih dengan mama melalui tatapan mata. Sekali lagi Mama dapat membaca pikiranku.
***

Pagipun datang. Matahari mulai sibuk dengan tugasnya menyinari bumi. Aku masih belum beranjak dari tempat tidurku. Semalaman aku tidak dapat tidur karena pertanyaan Papa kemarin saat makan.
Fandy adalah pacarku, dia baik dan sangat perhatian kepadaku. Usianya 5 tahun lebih tua dariku. Dia adalah sosok laki-laki yang ideal dan aku sangat beruntung memiliki seseorang seperti dia. Kami sudah berhubungan hampir 2 tahun dan dia juga telah berencana melamarku untuk menjadi istrinya. Entah kenapa sampai sekarang aku belum siap untuk menghadapi semua itu. Bagiku pernikahan adalah komitmen sehidup semati untuk selalu jujur kepada pasangan kita. Dan aku belum dapat jujur sepenuhnya dengan Fandy tentang masa laluku. Bukan karena aku tidak sayang, justru aku sangat sayang kepadanya dan aku takut kehilangan dia.
Tok tok tok!!! Bunyi pintu diketuk dari luar dan terdengar suara Mama yang memanggilku. “sayang! Kamu belum bangun? Udah jam 10 lho…! Ada fandy juga dibawah nungguin kamu!”. Seru mama. Aku terkesiap. Astaga! Aku lupa kalau hari ini aku ada janji dengan Fandy. Aku meminta dia untuk menemaniku hunting foto di Malioboro.


Aku buru-buru ke kamar mandi dan langsung berganti baju tanpa harus memoles wajahku dengan bedak dan lipstick. Aku beruntung karena aku terlahir dengan kulit lumayan putih, wajah yang tidak terlalu jelek serta tubuh yang bisa dibilang ideal untuk usia 22 tahun sepertiku. Bahkan dengan hanya menggunakan celana jeans dan kaos lengan pendek seperti ini saja, aku sudah sangat menarik. Apalagi ditambah dengan wedgesku yang tingginya 5cm ini, semakin menambah idealnya tinggiku yang sudah mencapai 170cm. tidak lupa aku mengalungkan kamera DSLR dileherku.
“maaf telat bangun Yank!”. Sapaku kepada Fandy yang sedang duduk di ruang tamu bersama Mama. “ gak pa2 kok yank, lagian juga ada Mama yang nemenin”. Jawab Fandy dengan senyumanya yang membuatku jatuh hati kepadanya. Setelah berbasa-basi dengan Mama, kamipun segera pamit untuk pergi. Dan kami langsung meluncur ke Malioboro menggunakan mobil SUV milik Fandy.


Sesampainya di Malioboro kami berkeliling sepanjang jalan untuk mencari objek foto yang unik dan diselingi dengan candaan-candaan khas kami. Fandy juga mempunyai hobi yang sama sepertiku dan karena kesamaan hobi inilah kami dipertemukan. Tak terasa senjapun mulai menyapa. Aku segera mencari tempat duduk kosong yang tersedia di sepanjang pinggir jalan Malioboro sambil menatap ke arah lampu lalu lintas dan memperhatikan kesibukan yang terjadi seperti aktivitas para pengamen jalanan. Fandy tahu kebiasaanku tersebut. Dia akan duduk disebelahku dan membiarkanku asyik dengan duniaku itu. Setelah aku puas menikmati senja hari, aku akan menoleh ke arah samping dan mendapati dirinya sedang takjub melihat ekspresi kepuasan dalam wajahku. Seperti biasa, dia akan menanyakan mengapa aku sangat menyukai senja hari khususnya di Malioboro dan seperti biasa pula aku akan menjawab kalau itu sebuah rahasia pribadi.
***

“kamu udah bilang ke Fandy, sayang?”. Tanya mama di suatu pagi saat kami sedang berada di ruang keluarga.
“menurut Mama, Andien harus bilang sekarang kah?”. Tanyaku balik ke Mama.
“menurut Mama, iya!. Fandy udah sangat serius ingin melamarmu. Kemarin dia bilang sendiri ke Mama. Dia belum berani datang kesini bersama orang tuanya karena kamu belum memberikan ijin”. Sahut mama sambil melihatku yang masih sibuk melihat-lihat hasil jepretan kameraku kemarin.
“andien belum siap ,Ma!”. Jawabku seperti biasa.
“Papamu juga udah nanya terus ke Mama. Kalau kamu belum siap terus, lalu kapan kamu siapnya, sayang? Hidup itu pilihan. Dan apapun resikonya kita harus terima”. Kata Mama menasehatiku. Mama selalu seperti ini. Tidak pernah memanggil namaku dan selalu memanggilku dengan sebutan “sayang”.
“andien belum siap untuk kehilangan Fandy nantinya, Ma! Andien masih butuh Fandy”. Sahutku dengan ekspresi kesedihan. Dan aku selalu seperti ini kalau Mama sudah menanyakan tentang kejujuran, Fandy dan masa laluku. Mama menghampiriku, sambil menggenggam tanganku mama bertanya: “kenapa kamu bisa yakin kalau kamu mengatakan hal tersebut maka Fandy akan meninggalkanmu? Udah berapa lama kamu kenal Fandy? Apakah dia tipe orang seperti itu? Mama rasa tidak! Kamu yang lebih mengenal Fandy sayang! Percaya sama Mama”. Aku hanya bisa menangis dipelukan mama. Iya Mama benar! Aku yang lebih tahu siapa Fandy. Dan aku tahu Fandy sangat menyayangiku, dia sangat mengerti aku dalam hal apapun. Itulah yang membuatku sangat takut kehilangannya. Tapi biar bagaimanapun Mama benar. Cepat atau lambat Fandy harus tahu siapa diriku sebenarnya. Baik atau buruknya nanti, itu sudah takdir Tuhan buat hubungan kami.
***


Keesokan harinya aku mengajak Fandy ke Malioboro. Bukan untuk hunting foto seperti biasa tapi untuk memperjelas hubunganku dengannya. Tadi malam sudah aku pikirkan matang-matang hal ini. Dan aku putuskan untuk mengatakan semuanya nanti. Aku tidak boleh membiarkan Fandy menunggu terlalu lama. Biar bagaimanapun Fandy harus segera tahu yang sebenarnya.


Fandy menjemputku dirumah seperti biasa. Kami berangkat sekitar pukul 3 sore. Sesampainya di malioboro kami berjalan-jalan sebentar sekedar untuk membeli beberapa barang yang kami butuhkan. Tak lama senjapun tiba, dan seperti biasa aku melakukan kebiasaanku. Namun kali ini aku tidak boleh asyik sendiri dengan duniaku. Ada tugas yang harus aku selesaikan. Yaitu mengungkapkan kejujuran kepada Fandy.
Dengan menatap ke arah lampu lalu lintas, aku mulai mengatakan semuanya kepada Fandy yang duduk disebelahku. “aku dulu seperti itu”. Kataku sambil menunjuk beberapa anak kecil yang mengamen disana. “Jauh sebelum aku kenal kamu, jauh sebelum aku menjadi fotografer dan jauh sebelum aku punya Papa dan Mama”. Lanjutku sambil menatap wajahnya. Aku ingin segera mengetahui reaksinya setelah mendengar kebenaran bahwa dulu aku hanyalah seorang pengamen kecil yang di angkat anak dan dibesarkan oleh Papa dan Mama sampai akhirnya aku bisa seperti ini sekarang. Seperti biasa, Fandy hanya membalas tatapanku dengan senyuman. Setelah menunggu beberapa detik, ia pun berkata: “ kita akan menikah! Besok keluargaku akan datang untuk melamarmu”. Ucapnya dengan pasti sambil menggenggam tanganku. Aku mencari kebohongan dimatanya namun aku tidak mendapatkanya. Yang aku dapatkan hanyalah keseriusan dan ketulusan.
Dan lagi, Senja di Malioboro sangatlah berarti untuk hidupku. Dua kali aku mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Pertama saat aku diangkat anak oleh Papa dan Mama. Dan yang kedua saat aku diminta menjadi istri oleh pacarku sendiri. Hidupku sekarang sangatlah indah. Seindah langit di sore hari, seindah siang berganti malam dan seindah senja yang terjadi di Malioboro.
Sekian ;)Nama : Riska Okta Rudyshon
TTL : Demak, 21 Oktober 1991
Alamat : jln. godong-karanganyar km.5 Brakas 02/03 Dempet Demak
Pendidikan : Jurusan Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
FB : Riezca Oktaviani

Posting Komentar

 
Top